Rabu, 15 April 2009

modernisasi pendidikan islam

PEMIKIRAN PROF.DR.H ABUDDIN NATA,MA

TENTANG

PERUBAHAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

SEIRING DENGAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pendidikan Islam meliputi perubahan ke arah yang lebih baik, baik kaitannya dengan individu, masyarakat maupun keprofesionalan.[1] Kajian terhadap judul tersebut menjadi sangat menarik dan penting dilakukan, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, topik ini mengisyaratkan adanya keprihatinan dan tanggung jawab yang mendalam dari Departemen Agama terhadap masa depan pendidikan pesantren dalam percaturan global yang makin kompetitif dan bahkan kejam adanya. Dalam situasi yang demikian itu, Departemen Agama sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dalam mengawal perjalanan pendidikan pesantren perlu melakukan langkah-langkah yang strategis dan urgent bagi pertumbuhan dan perkembangan pesantren di masa depan yang penuh tantangan itu. Selain itu, kajian terhadap masalah ini diharapkan dapat menyadarkan kalangan para pengelola pendidikan pesantren untuk memberikan respon yang tepat dengan perubahan yang terjadi, sehingga pendidikan pesantren benar-benar dapat berjalan pada “on the right track” atau “on the ideal track”.

Kedua, terdapat sebuah kecenderungan yang kuat bahwa untuk menilai apakah sebuah pesantren berada dalam on the right track atau on the ideal track amat bergantung pada keadaan pesantren dalam menjawab tantangan aktual yang dihadapinya. Di masa lalu, pesantren demikian dihormati dan disegani oleh masyarakat, oleh karena peran yang dimainkannya saat itu benar-benar telah memenuhi harapan masyarakat. Peranan pesantren di masa lampau terlalu banyak untuk diceritakan atau dibahas segi-segi positifnya. Pesantren telah lahir pada zamannya yang tepat. Pada saat ini, pesantren selain berperan sebagai lembaga tafaqquh fi al-ddin yang menghasilkan ulama-ulama ahli agama yang handal, mendalam dan luas serta sebagai pengawal moral umat, juga telah berhasil dalam menghadapi penetrasi asing colonial, baik dalam bidang politik dan terlebih-lebih dalam bidang social budaya.. Peran pesantren yang demikian itu di masa sekarang mungkin sebagian masih bisa dilakukan, namun di masa sekarang dan mendatang yang terpenting adalah menjawab tantangan zaman di era global. Dalam menghadapi dua tarikan ini, posisi pesantren berada di persimpangan jalan. Yaitu persimpangan antara meneruskan peranan yang telah diembannya selama ini atau menempuh jalan menyesuaikan diri sama sekali dengan keadaan, yakni keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern), termasuk di dalamnya bagian yang merupakan cirri utama kehidupan abad ini, yaitu teknologi.

Ketiga, era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan dampak yang amat luas terhadap kehidupan umat manusia. Berbagai pranata kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, kehidupan beragama, pola komunikasi, pertahanan keamanan dan lain sebagainya mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut pada akhirnya memaksa dunia pesantren untuk melakukan penyesuaian diri di sana sini, jika pesatren tersebut ingin tetap eksis dan diminati masyarakat di era modern tersebut. Khusus dalam perubahan yang terjadi dalam bidang sosial ekonomi di era global ini menuntut adanya pembaruan sistem pendidikan pesantren. Sejarah tentang pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia mencatat, bahwa di kalangan para alumni pesantren terdapat slogan yaitu tidak mau menjadi pegawai negeri. Dengan sikap zuhud dan tidak materialistisnya, atau sikap kesederhanaannya, membuat para alumni pendidikan pesantren mencari jalan hidup dengan berwiraswasta. Kiai umumnya hidup dengan usaha bisnis atau pertanian dan tidak bergantung pada gaji atau upah dari orang lain. Basis ekonomi inilah yang menjadikan mereka mandiri dan memiliki integritas serta berani memberikan koreksi atau kritik terhadap penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Namun slogan para alumni pesantren untuk tidak mau jadi pegawai negeri atau mendapatkan kedudukan yang strategis pada berbagai sector kegiatan kembali dipertanyakan. [2]

Selain itu, sikap non-materialistik dalam pesantren tersebut masih harus dipertanyakan dengan sungguh-sungguh sampai dimana kesejatiannya. Non-materialisme, dan zuhud agaknya terjadi di pesantren sebagai akibat tak langsung dari kondisi sosial masyarakat secara umum. Apakah suasana umum yang meliputi pesantren itu hanya merupakan refleksi keadaan sosial ekonomi masyarakat yang diwakilinya saja (yaitu masyarakat pedesaan), meskipun ada yang kaya tapi masih bersifat agraris dan kurang terpelajar, ataukah betul-betul merupakan perwujudan dari konsep yang sadar penuh niat?

Meskipun kita berharap pesantren dapat berperan banyak melalui semangat non-materialistik ini, namun bila kita lihat dalam pesantren sendiri, semangat ini kurang mendapat tekanan dalam kurikulumnya. Demikian pula ajaran hidup mandiri dengan mengembangkan sikap kewirausahaan (interpreneurship) juga kurang diberikan. Pengajaran di pesantren banyak didominasi oleh kajian fikih ubudiyah, teologi jabariah (fatalisme), dan tasawuf yang cenderung kurang mendorong timbulnya etos kerja dan kemandirian.

Tulisan ini lebih lanjut akan mengkaji tentang perubahan sosial ekonomi sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era global serta dampaknya terhadap pembaruan sistem pendidikan pesantren. Melalui kajian ini akan diupayakan menggali gagasan dan konsep pengembangan model-model pendidikan pesantren masa depan, serta menemukan konsep dan langkah revitalisasi pendidikan di pondok pesantren di era globalisasi. Kajian ini akan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari para pengamat, peneliti maupun praktisi pendidikan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Uraian tulisan ini akan dimulai dengan menguraikan perubahan sosial ekonomi, dilanjutkan dengan masalah-masalah yang dihadapi pendidikan pesantren, dan diakhiri dengan mengemukakan berbagai gagasan dan pemikiran yang terkait dengan perubahan sistem pendidikan pesantren.

B. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Islam

Kata visi berasal dari bahasa Inggris, vision yang berarti penglihatan, daya lihat, pandangan, impian atau bayangan. Dengan demikian secara sederhana kata visi mengacu kepada sebuah cita-cita, keinginan, angan-angan, khayalan dan impian ideal yang ingin dicapai yang dirumuskan secara sederhana, singkat, padat dan jelas namun mengandung makna yang luas, jauh dan penuh makna.[3]

Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu membangun kehidupan manusia yang patuh, tunduk dan berserah diri kepada Allah SWT dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Hal ini sebagaimana yang telah Allah SWT jelaskan dalam Al-Qur’an :

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (Q.S Al-Anbiya:107)

Sebagaimana kata visi, kata misi pun berasal dari bahasa Inggris, yaitu mission yang berarti tugas, perutusan dan misi. Misi lebih lanjut dapat dikatakan sebagai langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan yang bersifat strategis dan efektif dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan.[4] Berdasarkan petunjuk dan isyarat yang terdapat dalam Al-Qur’an, dijumpai informasi bahwa missi pendidikan Islam terkait dengan upaya memperjuangkan, menegaskan, melindungi, mengembangkan, menyantuni dan membimbing tercapainya tujuan kehadiran agama Islam bagi manusia. Imam al-Syatiby menyebutkan bahwa tujuan kehadiran agama Islam adalah untuk melindungi lima hal yang merupakan hak-hak asasi manusia, yaitu : (1) hak untuk hidup (2) hak untuk beragama (3) hak untuk berfikir (4) hak untuk memperoleh keturunan dan (5) hak untuk memperoleh harta benda.

Pemeliharaan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut pada intinya diarahkan pada upaya memuliakan harkat dan derajat manusia. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya :

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dngan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S Al-Isra :70)

Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat atau mengislamkan masyarakat.[5] Sebagian para ahli mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membimbing umat manusia agar menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah yakni melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Tujuan ini muncul dari hasil pemahaman terhadap ayat al-Qur’an yang berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (Q.S Ali Imran : 102)

C. Perubahan Sosial Ekonomi

Pada saat pesantren mulai didirikan situasi sosial ekonomi ditandai oleh sistem sosial ekonomi yang berbasis pada masyarakat agricultural, dengan menempatkan sektor pertanian dan perdagangan yang bersifat tradisional sebagai basis andalannya. Yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam, berorientasi pada keberkahan, tidak menggunakan teknologi modern, berorientasi ke belakang, kurang efisien, dan menekankan pada pola hubungan yang bersifat komunal.

Sistem perekonomian masyarakat agraris yang demikian itu dibiarkan berjalan secara alami, tanpa adanya sentuhan pembaruan dari para lulusan pesantren. Hal ini sejalan pula dengan pengajaran yang terjadi di pondok pesantren yang menekankan aspek fiqh ubudiyah, dan kurang sekali menekankan aspek fiqh muamalah yang didalamnya justru memiliki dasar-dasar ekonomi syariah yang masih diterapkan di masa sekarang. Ketika itu fiqh muamalah sebatas di madrasah dan masjid saja. Dalam praktik sehari-hari justru amat jauh. Akhirnya pengetahuan masyarakat tentang muamalah sangat dangkal. Ulama terdahulu menurutnya telah menjelaskan pedoman yang bisa digunakan mulai bab jual beli (kitab al-buyu’), tentang jaminan (rahn), alih utang (hawalah), perkongsian (syirkah), perwakilan (wakalah), penitipan (wadi’ah), sewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), wakaf, hibah, pengurusan kebun dan lainnya. Ajaran fiqh muamalah yang demikian itu, kalaupun dikaji, hanya sebatas wacana dan tidak berlanjut pada praktek.

Kini umat Islam termasuk baik yang sudah tamat dari pondok pesantren atau masih sedang belajar di pesantren dihadapkan kepada berbagai tantangan baru dalam bidang social ekonomi. Dalam hubungan ini, ada berbagai pandangan mengenai corak kehidupan abad yang akan datang, sebagai berikut.

Pertama, bahwa kehidupan dalam masa mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan untuk beintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Munculnya North American Free Trade (NAFTA), European Union (EU), Asian Pasific Economy Cooperation (APEC), Asean Free Trade Area (AFTA), dan General Agreement for Trading Service (GATS) adalah merupakan bentuk adanya integrasi dalam kehidupan ekonomi. Masyarakat yang tidak mau bergabung ke dalam berbagai asosiasi ekonomi tersebut tidak akan memiliki akses dalam perdagangan dunia. Sementara itu konflik yang terjadi di Negara-negara bekas Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Sovyet, di berbagai Negara di Afrika (Rwanda, Burundi, Angola, Liberia dan sebagainya); di Sri Langka, Banglades, India dan Pakistan di Asia, di Belgia, Irlandia, Spanyol, dan juga di Indonesia merupakan bukti adanya fragmentasi dalam bidang politik.

Kedua, bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti globalisasi ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah-masalah hak asasi manusia, dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global, persoalan-persoalan yang menyangkut nasib seluruh umat manusia. Masalah tersebut harus direspon oleh umat Islam bersama dengan komponen masyarakat lainnya.

Ketiga, bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepat, akan mengubah secara radikal situasi pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan lagi, dan timbullah pekerja-pekerja baru yang menuntut kecakapan baru. Akibat dari keadaan ini, maka pendidikan ulang (re-education) atau pelatihan ulang (re-training) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas dan untuk mengurangi pengangguran.

Keempat, bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia makin menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi,. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan diekspor dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang. Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi. Sedikitnya ada 7 (tujuh) jenis industri yang akan menjadi fokus kegiatan industri Negara-negara maju dalam abad XXI ini. Ketujuh industri ini ialah; micro-electronics, biotechnology, the new materials-science industries, tele-communications, civilian aviation, robotics plus machine tools, dan computer plus software.

Kelima, bahwa di tahun-tahun mendatang sebagai akibat dari era globalisasi informasi ini, akan lahir suatu gaya hidup baru yang mengandung ekses-ekses tertentu. Saat ini sudah tampak beberapa gejala yang dapat dipandang sebagai ekses dari gaya hidup yang dilahirkan oleh zaman globalisasi ini. Penyebaran informasi yang sangat cepat tentang obat-obatan yang mengandung narkotika, literatur pornografi, penggunaan senjata api serta alat-alat mikro-elektronika untuk melakukan tindakan kejahatan; informasi-informasi seperti ini telah mendorong banyak orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat.[6]

Selain itu terdapat pula hal lain yang lebih dahsyat pengaruhnya terhadap perubahan sosial ekonomi sebagaimana tersebut di atas, yaitu adanya era perdagangan bebas sebagaimana terlihat pada kebijakan yang dilakukan oleh Negara-negara yang tergabung dalam organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization). Selanjutnya pada akhir tahun 2005 ini, Negara-negara yang tergabung dalam organisasi tersebut (termasuk Indonesia) akan menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mengatur liberalisasi perdagangan sebanyak 12 sektor jasa, yang diantaranya jasa layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, dan pendidikan tinggi.

Beberapa Negara seperti Amerika, Australia, Cina, Jepang, Korea dan selandia Baru adalah termasuk Negara yang amat bersemangat untuk segera menandatangani GATS tersebut. Di antara alasan yang mendorong Negara-negara tersebut untuk mengambil kebijakan tersebut adalah karena keuntungan yang bersifat ekonomi. Sejak tahun 1980-an, di negara-negara maju, perdagangan dalam bidang jasa, tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap produk domestic bruto (PBD), dibandingkan dengan sumbangan yang berasal dari sector primer dan sekunder. Tiga Negara yang paling memperoleh keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan ini adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

Pada akhir tahun 2000 misalnya, Amerika Serikat memperoleh keuntungan dari penjualan terhadap jasa pendidikan sekitar US $14 milyard atau sekitar 126 trilyun. Di Inggris, kontribusi pendapatan dari sector pendidikan mencapai sekitar 4 % dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Laporan yang disampaikan oleh Millea pada tahun 1998, sebuah publikasi rahasia, berjudul Intellegent Exports mengungkapkan, bahwa pada tahun 1994 sektor jasa telah menyumbangkan sekitar 70 % pada ABP Australia, dan menyerap sekitar 80% tenaga kerja, dan merupakan 20% dari total export Negara kangguru tersebut. Selanjutnya sebuah survey yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa pada industri jasa yang paling menonjol orientasi exportnya adalah jasa komputerisasi, pendidikan dan pelatihan. Export jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada tahun 1993. fakta ini menjadi alasan yang kuat tentang mengapa tiga negara maju (Amerika, Australia dan Selandia Baru) sangat ngotot menuntut perlunya kebijakan liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Pada saat ini sudah tercatat 144 negara yang telah menyetujui GATS. Negara-negara tersebut harus mematuhi komitmen-komitmen khusus mengenai market acces dan national treatment untuk sektor jasa tertentu. Negara-negara yang tidak mau menyetujui GATS akan berhadapan dengan resiko berupa tertutupnya akses atas kemudahan untuk memasarkan atau memperdagangkan jasa-jasa yang dimilikinya.

Timbulnya kebijakan liberalisasi dalam perdagangan pada sektor jasa pendidikan tersebuterat kaitannya dengan era globalisasi. Alasannya cukup masuk akal, yaitu karena liberalisasi sebagaimana tersebut di atas, adalah liberalisasi yang bersifat global, bukan liberalisasi local, nasional, atau regional, melainkan bersifat global.

Menghadapi liberalisasi sektor pendidikan sebagaimana tersebut di atas, telah menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Mereka yang khawatir terhadap GATS, mengatakan bahwa GATS akan memberikan pengaruh yang buruk terhadap kegiatan publik, terutama pendidikan. Liberalisasi pendidikan ini telah menimbulkan pro dan kontra.

Para pendukung dimasukkannya jasa pendidikan terhadap skema GATS memiliki argumentasi yang secara ekonomi cukup meyakinkan. Mereka misalnya mengatakan, bahwa pelaksanaan jasa pendidikan pada hakikatnya merupakan perdagangan jasa lain, sehingga perlu dilakukan liberalisasi pula. Mereka juga berpendapat bahwa kebijakan liberalisasi pendidikan dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota, termasuk negara-negara yang sedang berkembang.

Sementara itu para penentang liberalisasi pendidikan juga memiliki argumentasi yang sama kuat. Mereka misalnya mengatakan, bahwa jasa pendidikan bukan termasuk komoditas perdagangan untuk tujuan komersil. Pendidikan adalah jasa layanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan bagi rakyat. Upaya yang harus dilakukan ini adalah bukan dengan cara bersaing secara tidak sehat dan saling mematikan, namun sebuah kegiatan yang berpedoman pada prinsip saling membantu dan bersinergi atas dasar saling memajukan dan menguntungkan bagi rakyat negara masing-masing.

Namun terlepas dari pro-kontra sebagaimana tersebut di atas, lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi, bahkan bentuk dan jenis pendidikan lainnya, termasuk pendidikan pesantren, harus menghadapi pasar bebas (free market era) dalam bidang pendidikan dan jasa-jasa lainnya. Hal ini dikatakan, karena Indonesia sudah masuk sebagai salah satu negara anggota WTO sebagaimana tersebut di atas. Kenyataan ini juga diperlihatkan oleh adanya sejumlah pasal dan ayat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberi isyarat adanya persetujuan terhadap adanya perdagangan bebas dalam bidang pendidikan. Pada pasal 65 ayat 1 Undang-undang Sisdiknas tersebut misalnya dikatakan bahwa lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya pada ayat 2 pasal yang sama juga dikatakan bahwa kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem negara lain yang diselenggarakan di wilayah NKRI dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keberpihakan pemerintah Republik Indonesia untuk menyetujui adanya liberalisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas dinilai sebagai adanya indikasi yang kuat bahwa pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Demikian pula adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang segera akan disahkan, juga memperlihatkan adanya keinginan pemerintah untuk melepaskan diri dari tanggung jawab finansial di dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu “memberikan kepercayaan” kepada sektor swasta untuk membiayai pendidikan yang diselenggarakannya. Upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab pembinaan tersebut di atas tidak memperhitungkan kenyataan bahwa dewasa ini pemerintah dan birokrasi pemerintah mempunyai kekuatan yang sangat besar di dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Kebanyakan lembaga pendidika berada dalam kondisi keuangan yang pas-pasan, dan satu-satunya sumber keuangan untuk pembiayaannya berasal dari masyarakat. Keadaan ini pada gilirannya akan memperburuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk mengakses pendidikan yang bermutu tinggi. Akibat selanjutnya dari lepas tangannya pemerintah dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan ialah masuknya kekuatan pasar, budaya “korporasi”, kekuatan industri yang secara langsung atau tidak langsung mengarahkan misi pendidikan. Pendidikan akan kehilangan kekuatan moralitasnya di dalam menegakkan kebenaran dan meningkatkan ilmu pengetahuan, karena diikat dan terikat pada sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari sector industri. Pendidikan juga akan kehilangan misi moralnya, sebagai akibat dari berubah fungsinya, yaitu sebagai sarana yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan perkembangan industri semata-mata. Pendidikan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia tidak lagi memperhatikan masalah etika dan moral. Etika dan moral di dunia pendidikan telah dikuasai oleh etika dan moral bisnis yang semata-mata didasarkan pada mencari keuntungan dan efisiensi. Akuntabilitas pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) tidak lagi diukur oleh standard akademik, moral dan etika ilmiah, melainkan diukur oleh para pemegang modal yang bertumpu pada upaya memenangkan persaingan yang diminta oleh dunia industri. Motif ini pada gilirannya mengembangkan manusia yang unggul secara intelektual dan keterampilan dalam bekerja pada sector industri, namun kosong dari segi moral dan nilai-nilai spiritual seperti kejujuran, kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, tolong menolong dan lain sebagainya.

Beberapa contoh dampak era globalisasi tersebut dengan jelas memperlihatkan adanya perubahan dalam sistem sosial ekonomi mayarakat yang disebabkan terjadinya perubahan orientasi pendidkan. Tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat modern adalah tenaga kerja yang menguasai teknologi modern, mampu mengakses berbagai sumber informasi yang berdampak ekonomi, memahami berbagai bidang produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat modern, serta kemampuan menjual berbagai produk tersebut dengan memanfaatkan berbagai asosiasi perdagangan tingkat dunia.

Berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang sosio ekonomi tersebut telah diketahui oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan modern yang sebagian besar tinggal di perkotaan. Mereka itulah yang akan mampu memanfaatkan berbagai peluang tersebut. Keadaan ini pada gilirannya merubah pandangan masyarakat untuk menyiapkan putra putrinya melalui lembaga pendidikan yang dapat memberikan bekal yang cukup untuk merebut berbagai peluang kerja. Lembaga pendidikan yang menurut masyarakat yang tidak menjadikan harapan demikian, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat. Untuk itu tidak mengherankan jika berbagai program studi yang ditawarkan berbagai Perguruan Tinggi yang tidak menawarkan prospek meraih ekonomi yang menjanjikan itu akan ditinggalkan oleh masyarakat. Berbagai catatan dan laporan yang disampaikan berbagai pimpinan Perguruan Tinggi Islam dan Perguruan Tinggi Umum misalnya menyatakan bahwa program studi yang menjanjikan prospek kehidupan ekonomi bagi lulusannya ternyata banyak diminati dan diserbu masyarakat. Sementara program studi yang kurang terkait secara langsung dengan kegiatan ekonomi cenderung ditinggalkan. Beberapa program studi seperti manajemen perusahaan, manajemen ekonomi, teknik informatika, kedokteran, farmasi dan keperawatan misalnya termasuk yang banyak diminati masyarakat. Sementara itu beberapa program studi seperti sejarah, akidah filsafat, perbandingan agama, fisika murni, ilmu perpustakaan, dan tarjamah termasuk program studi yang kurang diminati masyarakat.

D. Respon Dunia Pesantren Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi

Berbagai perkembangan yang terkait dengan terjadinya perubahan pada sosio ekonomi masyarakat yang demikian itu telah direspon oleh kalangan dunia pesantren dengan cara yang amat beragam. Di antara respon yang paling menonjol adalah dengan cara memasukkan berbagai program pendidikan umum dan keterampilan di samping program keagamaan yang sudah diselenggarakan sebelumnya.

Di samping itu, pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang memiliki ciri-ciri :

1. Terbuka dan bersedia menerima hal-hal baru hasil inovasi dan perubahan.

2. Berorientasi domokrasi dan mampu berpendapat yang tidak selalu sama dengan pendapat orang lain.

3. Menghargai waktu, konsisten dan sistematik dalam menyelesaikan masalah.

4. Selalu terlibat dalam perencanaan pengorganisasian

5. Memiliki keyakinan yang dapat diperhitungkan

6. Menghargai pendapat orang lain

7. Rasional dan percaya pada kemampuan iptek

8. Menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prestasi dan efesien.[7]

Sedikitnya sekarang ada lima bentuk pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu :

1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI,MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,SLTP,SMU,SMK dan Perguruan Tinggi Umum).

2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional.

3. Pesantren yang hanya menyelanggarakan pendidikan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyyah.

4. Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majelis ta’lim) yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana terdapat dalam kitab kuning.

5. Pesantren yang terdapat pada sekolah-sekolah umum atau perguruan tinggi yang diperuntukkan bagi pelajar sekolah umum dan mahasiswa.

Perkembangan bentuk-bentuk program pendidikan yang terdapat di pesantren sebagaimana tersebut di atas memperlihatkan dengan jelas, bahwa sesungguhnya pesantren memiliki kepekaan dan daya antisipatif yang tinggi dalam merespon berbagai perkembangan yang terjadi. Pesantren tampak tidak mau ketinggalan untuk memanfa’atkan momentum yang ada, sebagaimana yang pernah ia perankan pada momentum di masa lalu. Jika pesantren tidak mampu memberi respon yang tepat maka pesantren pesantren akan kehilangan relevansinya , serta akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya, dengan segala kerugian yang bakal ditanggung. Untuk melakukan hal demikian itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama, perlu mengatasi berbagai kelemahan yang selama ini masih terdapat di kalangan pendidikan pesantren pada umumnya. Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan.[8] Berbagai kelemahan tersebut meliputi masalah lingkungan, kurikulum, metode pembelajaran, manajemen, program pengajaran, tenaga guru dan masalah sarana prasarana pendidikan. Menyadari tantangan sosial ekonomi masyarakat yang demikian berkembang, telah banyak pesantren yang berupaya memperbaharui sistem pendidikannya, walaupun jumlahnya masih sedikit .

Kedua, dengan mempertahankan keunggulan yang terdapat di dalam pendidikan pesantren. Harus diakui bahwa di samping berbagai kelemahan atau kekurangan sebagaimana tersebut di atas, pendidikan pesantren masih memiliki kekuatan dan keunggulan yang tidak dijumpai di lembaga pendidikan lainnya. Pesantren dengan system dan karakternya tersendiri telah menjadi bagian integral dari suatu institusi social masyarakat, khususnya pedesaan. Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi model gerakan alternative bagi pemecahan masalah-masalah social masyarakat desa. Selain itu, pesantren juga memiliki kekuatan dalam melahirkan lulusan yang ahli dan mendalam ilmu agamanya yang selanjutnya disebut ulama. Pesantren juga dikenal sebagai lembaga pendidikan yang kental dengan pengalaman tradisi keagamaan, seperti dalam mengerjakan shalat wajib berjama’ah, shalat sunnah, berpuasa Senin Kamis, menerapkan pola hidup sederhana (zuhud), kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, kemandirian, keakraban antara santri dan kyai dan antara sntri dengan santri lainnya. Kekuatan lainnya yang dimiliki pesantren adalah apa yang kita kenal dengan istilah cultural resistance, memperhatikan budaya dan tetap bersandar kepada ajaran dasar Islam. Tradisi ini sangat diperlukan sebagai benteng yang mampu menjaga dunia pesantren dari pengaruh budaya global yang hedonistic, materialistic bahkan ateistik.

Ketiga, dengan memadukan kekuatan yang ada dan menerima perubahan yang datang kemudian. Dalam kaitan ini, berbagai pemikiran tentang modernisasi pendidikan perlu dipertimbangkan. Berbagai aspek yang terdapat di dunia pesantren seperti visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, guru, manajemen, sarana prasarana, lingkungan, evaluasi dan berbagai aspek lainnya yang terdapat di dunia pesantren perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan tuntutan zaman.[9]

Keempat, dengan memberikan bekal keterampilan bekerja produktif. Untuk pesantren tradisional, yang terbatas hanya mendalami ilmu-ilmu agama perlu diberikan keterampilan kerja praktek yang dapat menjadi sumber pendapatan ekonominya kelak, seperti praktek jahit menjahit, menyablon, membuat batako, menjadi tukang kayu, menjadi tukang cukur dan lain-lain. Sedangkan pesantren-pesantren jenis lainnya perlu diperbaharui program pendidikannya sehingga selain mampu menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja yang lebih luas, juga dapat melanjutkan pendidikan para lulusannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kelima, dengan melakukan peran sebagai pusat pembaharuan pemikiran. Berbagai perkembangan yang terjadi dalam bidang ekonomi, social,, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya seringkali menimbulkan berbagai pertanyaan baru yang belum dijumpai rujukannya dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama klasik di masa lalu, mengingat zamannya berbeda dengan zaman yang ada sekarang.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai kesimpulan sebagai berikut :

1. Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, kehadiran pesantren adalah merupakan refleksi dari tanggung jawab umat Islam terhadap ajaran agama yang dianutnya, yakni kewajiban menyebarkan ilmu pengetahuan serta melakukan tugas-tugas kemanusiaan sebagai bagian dari tugas amar ma’ruf nahyi munkar.

2. Sejalan dengan latar belakang kelahirannya itu, pesantren di Indonesia sudah terbiasa memberikan response dan terlibat dalam berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara.

3. Dihubungkan dengan adanya perubahan sistuasi sosial ekonomi sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di era global seperti yang terjadi saat ini, peran dan tanggung jawab pesantren sebagaimana yang dilakukannya di masa lalu, kembali dipersoalkan, mengingat berbagai aspek yang selama ini diterapkan di dunia pesantren ternyata sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan era globalisasi. Sehingga senua aspek di dunia pesantren sudah waktunya untuk diperbaharui, dengan tetap mempertahankan berbagai kekuatan yang menjadi cirri khas dunia pesantren tersebut.

4. Dalam menghadapi perubahan social ekonomi yang terjadi di era global saat ini, menunjukkan bahwa dunia pesantren ternyata meresponnya dengan sikap yang amat beragam. Sebagian ada yang tetap berada pada ketradisionalannya, sebagian yang lain ada yang telah tampil merespon dengan sangat modern, sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa pesantren yang tergolong besar dan maju yang tersebar di sluruh Indonesia.

5. Perubahan sosial ekonomi yang terjadi di era global saat ini mengharuskan adanya perubahan terhadap sistem pendidikannya, yang meliputi aspek visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, guru, lingkungan, manajemen, evaluasi, pola komunikasi, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2006)

­­­­­____________, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta:Logos, 2001)

____________,Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:UIN Jakarta Press,2005,)

____________,Paradigma Pendidikan Islam,(Jakarta:Gramedia Widia Sarana,2001)

____________,Pendidikan Islam di Era Global, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2005)

______________,Pendidikan Islam di Indonesia, Tantangan dan Peluang, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004)

PEMIKIRAN PROF.DR.H ABUDDIN NATA

TENTANG

PERUBAHAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

SEIRING DENGAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI

TUGAS MATA KULIAH KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :

Prof. Dr.H. Didin Saefuddin.MA

DISUSUN OLEH :

DEDE JAJAT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS IBN KHALDUN

BOGOR

2008



[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta:Logos, 2001,h.54

[2] Abuddin Nata,Modernisasi Pendidikan Islam,Jakarta:UIN Jakarta Press,2006.h.163

[3] Abuddin Nata,Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an,Jakarta:UIN Jakarta Press,2005,h.16

[4] Ibid, h. 21

[5] Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia,Tantangan dan Peluang, Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004,h 1

[6] Abuddin Nata,Modernisasi Pendidikan Islam,Jakarta:UIN Jakarta Press,2006.h.169

[7] Abuddin Nata,Pendidikan Islam di Era Global,Jakarta: UIN Jakarta Press,2005,h.448

[8] Abuddin Nata,Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta:Gramedia Widia Sarana,2001,h.178

[9] Abuddin Nata,Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an,Jakarta:UIN Jakarta Press,2005,h.9

ARAH DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAm

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam, walaupun mencapai kemajuan dalam bidang sarana, namum kwalitasnya dirasakan belum memenuhi keinginan ummat. Kemerosotan itu disebabkan oleh berbagai faktor, satu diantaranya adalah ketidak fahaman terhadap arah dan tujuan Pendidikan Islam. Sebagian pendidik dan lembaga pendidikan berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah menyampaikan ilmu pengetahuan. Akibatnya semua usaha pendidikan hanya ditujuan untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Disamping itu terdapat pula anggapan bahwa yang dinamakan Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (syari’ah), sehingga berkembang angapan bahwa ilmu-ilmu selain ilmu keislaman bukanlah merupakan garapan Pendidikan Islam. Akibatnya arah dan tujuan lembaga Pendidikan Islam terbatas pada pangajaran ilmu-ilmu syari’ah.

Kondisi Obyektif Pendidikan Islam di Indonesia

Praktek pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana diidentifikasi di atas mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Namun demikian dalam perkembangan terakhir, kenyataannya menunjukkan kemajuan, setidak-tidaknya jika dilihat dari indicator kuantitatif. Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum misalnya berlangsung hanya 2 jam pelajaran per pekan. Belakangan banyak keluhan yang muncul berkaitan dengan prilaku remaja sekolah yang kurang terpuji, seperti tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang serta pergaulan bebas.

Tulisan ini mencoba mengemukan arah dan tujuan Pendidikan Islam agar kesalah pahaman tersebut akan dapat diperbaiki, dan Pendidikan akan dapat berkembang sejalan dengan tujuan hakiki Pendidikan Islam yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia secara normative pada dasarnya bersumber dari ajaran agama Islam yang universal. Konsisten dengan prinsip ini, pendidikan Islam akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari masa ke masa.

Masa depan pendidikan Islam di Indonesia ditentukan baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal.[1] Secara internal, dunia pendidikan Islam pada dasarnya masih menghadapi problem pokok berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah, dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Secara eksternal, masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar : globalisasi, demokratisasi dan liberalisasi Islam.

Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.

Sebagian para ahli mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membimbing umat manusia agar menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah yakni melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan ketulusan .[2] Tujuan ini muncul dari hasil pemahaman terhadap ayat al-Qur’an yang berbunyi :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ

. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(Q.S Ali Imran:102

Iman Al-Maraghi di dalam kitabnya Tafsir al-Maraghi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut, bahwa yang dimaksud dengan yaa ayyuhalladziina aamanuut taqullaaha haqqatuqaatihi, maksudnya adalah wajib bagi kamu sekalian bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, yaitu dengan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah, dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Selanjutnya yang dimaksud dengan walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun adalah dan janganlah kamu sekalian mati kecuali dirimu dalam keadaaln ikhlas semata-mata karena Allah, tidak menyekutukan-Nya, dan tidak berada dalam keadaan tidak beragama Islam pada saat kematian tersebut menjumpaimu. Intinya ayat tersebut menyerukan agar manusia terus-menerus berada dalam keadaan berserah diri kepada Allah (muslim), menjaga segala perintah yang diwajibkan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya hingga mati menjemput[3]

Kecenderungan menjadi orang baik ini selanjutnya menjadi kecenderungan beragama yang merupakan salah satu fitrah manusia. Hadits Rasulullah SAW misalnya mengisyaratkan :

Tiap orang yang dilahirkan membawa fitrah, ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R Bukhari dan Muslim)

Berkenaan dengan kecenderungan kepada berbuat baik tersebut, maka pendidikan Islam memiliki tanggung jawab mengupayakan agar manusia untuk senantiasa mewujudkan kecenderungan baiknya dan menghindari dari mengikuti kecenderungan yang buruk.

Tujuan

Tujuan merupakan fitrah yang telah melekat dalam diri setiap insan. Tidak ada tindakan manusia yang tidak mempunyai tujan. Sesungguhnya perbuatan seorang yang ia lakukan tanpa sadar mempunyai tujuan, walupun ia tidak mengetahui tujuan itu[4].

Seorang yang sedang tidur akan menarik tangannya bila ditusuk dengan jarum. Tujuannya adalah mempertahankan diri, atau berkeinginan untuk hidup.

Biasanya, semua orang yang sadar dan berakal, selalu memikirkan tujuan setiap tindakannya. Bila ia menyadari tujuan tindakannya, akan terdorong untuk melakukan perbuatan itu. Seandainya seorang menempuh sebuah jalan tanpa mengetahui sebab ia harus melewati jalan tersebut, dia tidak akan antusias lewat di jalan itu. Tapi bila ia mengetahui bahwa di ujung jalan itu ada kebun yang indah, pemiliknya ramah dan akan mengajak setiap orang yang lewat di depan kebun itu untuk makan di pinggir kolam yang ada di kebun itu, sedangkan orang yang lewat ini sedang kelaparan, maka pasti orang tersenut akan terdorong dan bersemangat melewati jalan tersebut.

Demikian pula dalam semua bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Seorang mahasiswa akan belajar dengan tekun sepanjang tahun, bila dalam benaknya selalu terbayang apa tujuan yang akan ia capai dengan pendidikan tersebut. Ia akan berusaha sekuat tenaga mencapai tujuan yang ia idam-idamkan.

Disamping itu tujuan juga akan mengarahkan proses sebuah kegiatan. Bila tujuan tergambar, seorang akan dapat menentukan langkah, menentukan cara dan menentukan apa yang akan diperbuat ke arah tujuan itu.

Kebutuhan terhadap tujuan

Disamping hal yang kita utarakan di atas, kebutuhan sistim dan lembaga Pendidikan Islam terhadap tujuan disebabkan oleh dua masalah penting lainnya, yaitu:

1. Sistim pendidikan yang berkembang di negara-negara Islam adalah sistem yang diimpor dari model Eropa dan Amerika. Sistim tersebut tidak serasi dengan budaya dan kebiasaan ummat di negara ini. Disamping itu sistem tersebut masuk ke dalam negara Islam sebagai bagian dari kekuasaan kolonialis, yang otomatis tujuannya sesuai dengan tujuan ekonomis kolonial itu, dan sesuai dengan dominasi politik kelompok-kelompok terdidik dan pemerintahan negara penjajah itu. Penjajah melalui sekolah yang mereka siapkan berusaha untuk melatih orang-orang terjajah untuk melakukan peran-peran penjajah. Walaupun penjajahan fisik berakhir, namun sistim pendidikan belum banyak mengalami probahan. Kurikulum, malah bahasa di sebagian negara Islam misalnya, masih sama dengan zaman pemjajahan. Malah hubungan kebudayaan antara negara bekas jajahan dengan ngara penjajah lebih kuat dibadingkan dengan zaman penjajahan[5].

Kekhawatiran kita terhadap budaya Barat bukan berarti kita menutup diri dari semua budaya ini, tapi kita harus mempelajarinya dengan hati-hati dan kritis, dan menganggapnya sebagai salah satu informasi. Untuk mengatasi kesensitipan interaksi budaya itu dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal: (a) siapa yang kita pilih untuk berinteraksi itu; (b) pada umur berapa mereka kita bolehkan berinteraksi; dan (c) di mana tempat interaksi itu dilakukan.

2. Sebab kedua adalah bahwa sistim pendidikan di negara Islam masih merupakan penceplakan terhadap model pendidikan lama yang berkembang di negara-negara Islam. Pendidikan model lama itu belum memahami tujuan Pendidikan Islam dan tidak pula menghayati hubungan tujuan dengan proses pendidikan. Tujuan satu-satunya yang terlihat dalam pendidikan lama ini adalah mentranformasikan budaya orang tua kepada anak-anaknya tanpa melakukan pengembangan dan tanpa memperhatikan kebutuhan masa depan anak tersebut. Hal ini sama dengan apa yang diungkap Allah dalam surat Az-zuhruf ayat 22.

Oleh sebab itu kurikulum yang diberikan kepada anak-anak saat ini sama dengan apa yang diberikan pada masa yang lalu tanpa memperhatikan perbedaan kebutuhan saat ini dan masa yang lalu dan tanpa memperbadingkan probelma yang dihadapi oleh ummat masa kini dengan problema mereka masa lampau. Akibat ketidak pahaman tujuan ini lahirlah keterbelakangan di berbagai lembaga pendidikan Islam, baik dalam bidang kurikulum ataupun dalam bidang metode. Dan yang lebih naif lagi timbulnya dualisme, atau dikhatomi dalam sistim pendidikan kita saat ini.

Arah dan Tujuan Pendidikan Islam

Bila kita ingin berbicara tentang arah dan tujuan Pendidikan Islam, kita harus melihat tujuan hidup manusia di dunia ini. Tujuan itu tertera dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 56 :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.)Q.S Ad-Dzariyat:56)

Ibadah yang dimaksudkan di sini bukanlah terbatas pada ritual-ritual Islam, seperti shalat, shiyam dan zakat, tapi lebih luas dari itu. Ibadah dalam pengeritan bahwa seseorang hanya menerima seluruh masalah kehidupannya dari Allah SWT, dalam arti bahwa ia terus menerus dalam hubungan dengan Allah SWT. Shalat, shiyam, zakat tidak lebih dari miftah ibadah/kunci ibadah, atau sebagai halte tempat menambah perbekalan bagi seorang yang sedang mengembara

Sesunggunya seluruh perjalanan, mulai dari bidayah, sampai kepada nihayah adalah ibadah. Ibadah dalam pengertian seperti ini mencakup seluruh kehidupan manusia, tidak terbatas pada waktu pendek yang dipergunakan untuk ritual itu saja. Kalau itu yang dimaksud dengan ibadah oleh ayat 56 surah Azzariyat itu, tentu ayat itu tidak mempunyai makna yang mendalam. Apa artinya waktu yang babarapa menit untuk ritual itu jika dibandingkan dengan kehidupan kita yang panjang itu. Hampir ia tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ayat ini baru mempunyai makna penting bila ibadah dijadikan manhaj hayah/sistem kehidupan manusia ini, dan bila ibadah itu menjadi cara berbuat, dan cara berfikir insa tersebut. Dalam arti bahwa semua perbuatan manusia harus kembali kepada Allah.

Membentuk hubungan hati manusia dengan Allah SWT, dan mendorong hati manusia untuk kembali kepada Allah pada setiap saat adalah kaedah pokok Pendidikan Islam. Dengan kaedah inilah semua masalah dilaksanakan. Tanpa kaedah ini segala perbuatan di dunia tidak mempunyai arti. Oleh sebab itu, tujuan Pendidikan Islam berbeda dengan tujuan pendidikan lainnya, yaitu membentuk muslim yang beramal shaleh. Dalam arti bahwa manusia yang ingin diciptakan oleh Pendidikan Islam adalah insan yang dalam semua amalnya selalu berhubungan dengan Allah SWT.

Amal Shaleh

Dilihat dari implimentasinya, amal shaleh dapat dibagi kepada amal agama yang shaleh, amal sosial yang sholeh dan amal alami atau kauni yang sholeh. Namun bila dilihat dari pengaruhnya, amal shaleh dapat dikatagorikan kepada dua kelompok:

Pertama. amal yang mendatangkan kemanfaatan dan keredhaan Allah.

Kedua. amal yang bertujuan menghindarkan kemudharatan dan menjauhkan kemarahan Allah.

Individu yang melakukan kedua bentuk amal shaleh itu desebut sebagai shaleh-mushlih. Sedangkan yang hanya melakukan yang pertama saja disebut dengan shaleh. Melakukan salah satunya belumlah memadai, sebab yang pertama diperlukan untuk pengembangan dan kemajuan, sedangkan yang kedua adalah untuk menghalangi sebab-sebab kemufsadatan dan keterbelakangan.

Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan manusia yang shaleh dan mushlih itu, dalam arti berusaha menciptakan insan yang akan berusaha melakukan kedua sisi amal shaleh tersebut. Hal ini disebabkan penegasan Allah dalam surat Al-Anfal ayat 25 yang mengatakan bahwa kehancuran tidak akan menimpa ummat yang anggotanya shaleh dan mushlih, tapi masyarakat yang anggotanya hanya shaleh saja akan dihadapkan kepada kehancuran.

Bagaimana Menciptakan individu yang beramal shaleh?

Pertanyaan yang muncul bagaimana cara Pendidikan Islam menciptakan individu yang beramal shaleh ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memberikan defenisi amal dan bagaimana menciptakan amal itu.

Amal dalam Pendidikan Islam adalah semua gerak yang diiringi dengan niyat. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu mempunyai niat.” Setiap gerakan tanpa niat (tujuan) tidak dinamakan amal. Bila dikhususkan kepada manusia, maka setiap gerak yang bertujuan mendatangkan kemanfaatan atau menghindarkan kemudharatan (keburukan) dinamakan oleh Al-Quran sebagai amal. Sedangkan gerak tanpa tujuan disebut Al-Quran sebagai jiryan (peredaran), seperti peredaran matahari dan bumi.

Dengan demikian, amal adalah gerak dan tujuan, atau dalam ungkapan lain kudrah dan iradah (kemampuan dan keinginan). Bila ada kemampuan dan ada pula keinginan maka akan tercipta amal.

Qudrah dapat berarti tenaga (thaqah) yang terdapat pada manusia dan hewan. Ia dapat pula berarti kemampuan untuk menundukkan alam. Ini hanya dipunyai oleh manusia. Kudrah dalam pengertian inilah yang akan diarahkan oleh Pendidikan Islam. Kemampuan untuk menundukkan ini adalah perkawinan antara kemampulan akal dengan pengalaman dan keahlian manusia dalam bidang agama, sosial dan kauni.

Sedangkan Iradah adalah keinginan individu terhadap tujuan-tujuan tertentu. Iradah ini juga suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan.

Selanjutnya tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Mengarahkan manusia agar selalu mentauhidkan Allah SWT, yang tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah. Allah SWt berfirman :

* 4n<Î)ur yŠqßJrO öNèd%s{r& $[sÎ=»|¹ 4 tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#rßç6ôã$# ©!$# $tB /ä3s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçŽöxî ( uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkŽÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) 4 ¨bÎ) În1u Ò=ƒÌs% Ò=ÅgC ÇÏÊÈ

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."(Q.S Hud:61)

2. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Allah. Allah SWt berfirman :

øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S Albaqarah:30)

3. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Adz-dzariyat:56)

4. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. Allah SWt berfirman :

y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(Q.Al-Qalam:4)

5. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.

6. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[6] Allah Swt berfirman :

Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)tƒ !$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$# ÇËÉÊÈ

Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"(Q.S Al-Baqarah:201)

Tujuan tersebut di atas kemudian oleh para ahli dijadikan sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Namun, sungguhpun sifatnya umum ia tetap penting dan menjadi arah pendidikan Islam. Tujuan umum ini nampak agak sulit dilaksanakan jika tidak dirinci lebih jauh lagi. Adapun tujuan khusus pendidikan Islam adalah sebagai berikut :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu yang mencakup perubahan berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, serta memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan kegiatan masyarakat.

Adanya rincian tujuan umum dan khusus itu pada tahap selanjutnya akan membantu merancang bidang-bidang pembinaan yang harus dilakukan dalam kegiatan pendidikan, seperti adanya bidang pembinaan yang berkaitan dengan aspek jasmani, aspek akidah, aspek akhlak, aspek kejiwaaan, aspek keindahan dan aspek kebudayaan. Masing-masing bidang pembinaan ini pada tahap selanjutnya disertai dengan bidang-bidang studi atau mata pelajaran yang berkaitannya.

Dengan demikian struktur tujuan pendidikan Islam itu terdiri dari:

1. Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir

2. Tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum.

3. Tujuan perbidang pembinaan, misalnya tujuan dari pembinaan aspek akal.

4. Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang pembinaan tersebut.

5. Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi

6. Tujuan setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan.

Uraian mengenai tujuan pendidikan Islam tersebut memperlihatkan dengan jelas keterlibatan fungsional mengenai gambaran ideal dari manusia yang ingin dibentuk oleh kegiatan pendidikan. Selain itu, uraian tersebut dapat membantu tugas para pemikir pendidikan Islam ketika mereka akan melaksanakan kegiatan pendidikan. Maka sebelum merumuskan bidang kegiatan lainnya, terlebih dahulu ia harus merumuskan dengan jelas mengenai sosok manusia yang ingin dihasilkan melalui kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa Pandidikan Islam adalah pendidikan yang syumul, yang mencakup semua segi pendidikan, baik kognitif, afektif dan psikhomotorik. Dengan demikian tujuan pendidikan juga akan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Bila individu muslim berhasil dididik menjadi manusia-manusia shaleh dan muslih, maka keluarga muslim akan tercipta dengan sendirinya, dan selanjutnya keluarga tersebut akan menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat muslim yang baik.

Adapun struktur tujuan pendidikan Islam itu terdiri dari:

1. Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir

2. Tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum.

3. Tujuan perbidang pembinaan, misalnya tujuan dari pembinaan aspek akal.

4. Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang pembinaan tersebut.

5. Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi

6. Tujuan setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan

DAFTAR PUSTAKA

Rahim, Husni , Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta, Logos : 2001

Nata, Abuddin, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qr’an Jakarta, UIN Jakarta Press : 2005

____________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos: 2001

Musthafa, Ahmad al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi al-Mujallid atsani Beirut, Dar al Fikr:tt

Rahman, Abdur Al-Qalawi, Ushul Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo, Darul Fikril Arabi: t.t

Arsan, Majid Al-kailani, Ahdaf At-Tarbiyah Al-islamihah, Madinah, Maktabah Darut-Turast: 1988

MAKALAH

ARAH DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individual

Mata Kuliah :

TAFSIR HADITS PENDIDIKAN

Dosen Pengasuh :

Prof.DR.KH.Didin Hafiduddin,MSc.

DR.H.Ibdalsyah, MA.

Disusun Oleh :

Dede Jajat

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR

2009



[1] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta::Logos,2001) h.13

[2] Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qr’an (Jakarta: UIN Jakarta Press,2005) h.166

[3] Ahmad Musthafa al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi al-Mujallid atsani ( Beirut:Dar al Fikr,tt) h.16

[4] Abdur Rahman Al-Qalawi, Ushul Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo, Darul Fikril Arabi,t.t), hal. 96

[5] Majid Arsan Al-kailani, Ahdaf At-Tarbiyah Al-islamihah, (Madinah, Maktabah Darut-Turast, 1988), h35.

[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Logos,2001) h.53